Dalam
kehidupan yang cukup kompleks ini kita sering dihadapkan beberapa masalah atau
problematika yang mesti kita selesaikan dan rapikan guna menyelaraskan dengan
kehidupan kita,sebisa mungkin masalah tersebut tidak mengganggu kehidupan
beragama kita, sebagai mahluk yang menjadikan agama sebagai prinsip
fundamental, namun sayangnya kita juga ternyata masih sering bersikap apology
terhadap permasalahan yang seharusnya kita dituntut untuk bersikap bijak,
lebih-lebih masalah yang menyangkut hukum suatu hal yang ada kaitannya dengan
masalah kekinian yang dengan mudah kita menerimanya dengan legowo, hanya karna
hal tersebut sudah disinggung oleh ulama’ zaman dulu mengenai hukum tersebut
dan kita hanya sami’na wa ‘atho’na, sendiko dawuh dan tanpa melakukan analisa,
inilah salah satu kebiasaan yang perlu diluruskan.
Kita tentu paham benar bahwa suatu hasil atau karya
seseorang itu pasti dipegaruhi oleh keilmuannya sendiri, konteks sosio-kultur,
dan latar belakang lainnya yang mengiringinya dalam proses pembuatan karya atau
yang lainnya,”kecurigaan” yang seperti inilah yang cukup langka dalam kazanah
keilmuan islam sekarang, keadaan yang semacam ini pun kadang masih diperparah
oleh sikap kita yang tidak mau dengan perubahan, enggan dengan nilai-nilai yang
baru, mulai dari tradisi atau peradaban
yang sudah barang tentu adalah sunnatullah yang akan terus berkelanjutan ila
yaumil qiyamah, maka sangat disayangkan apabila kita bersikap apriori dengan
segala macam perkembangan dan perubahan yang sur’atan jiddan (cepat
sekali).
Memang hal yang demikian itu wajar, tapi perlu diingat
bahwa kita sebagai mahasiswa adalah sangat naïf bila kita juga ikut sendiko
dawuh tanpa ikut nimbrung menganalisa setiap pendapat yang dilontarkan oleh
para ulama’ mengenai setiap persoalan lebih-lebih masalah hukum suatu hal,
hingga kita juga tahu dari mana mereka istidlal dalam persoalan tersebut, dan
hasilnya juga kita tidak hanya tahu prosesnya tapi lebih indah lagi mengerti
manhaj atau mainstream mereka dalam menghasilkan suatu hukum, tapi rasanya pun
akan tambah manis lagi ketika kita ikut berpendapat dengan perangkat keilmuan
kita yang pasti berbeda dengan ulama’ dahulu, karna keilmuan akan terus moving
dari masa ke masa maka dari itu pendapat(karya) ulama’ dulu belum tentu mempunyai
nilai relevansi yang koprehensif semua untuk konteks kekinian, contoh untuk masalah
ini adalah kitab-kitab fiqh yang masih membincang riqqun;perbudakan, dalam bacaan penulis ini
sangat ganjal ketika penulis ngaji masalah bab ini, karna tentu kita menyadari
bahwa di zaman ini sudah tidak ada perbudakan, lha kenapa kita masih asyik menteleng memahami
bab ini(perbudakan), padahal permasalahan kita sekarang bukan masalah budak
lagi, tapi masalah social lainnya yang lebih penting ketimbang menteleng dengan
bab yang tak “berguna” dalam masa sekarang, nah bagaimana dengan ulama’ dahulu?
Ya memang pada saat itu masih ada perbudakan sehingga dengan jiwa sosial mereka
pun masih membincang masalah perbudakan.
Namun, perlu dicatat bahwa karya mereka itu tidak
sia-sia, ini karna memang masih ada tema-tema yang punya kecocokan dalam
konteks sekarang, yang perlu dipahami adalah sikap sendiko dawuh kita
harus dirubah menjadi punopo, ko’ saget, dan sederetan pertanyaan yang
membangun keilmuan kita selaku mahasiswa, agent of change, yang kemudian
next leader, selanjutnya teruskan sendiri, tapi harus dipersiapkan dengan
jalan kritis terhadap permasalahan yang lebih dibutuhkan bukan konsen dengan
bab-bab “lucu” tapi bagaimana mahasiswa yang santri ini jadi pengayom
masyarakat, memperjuangkan hak-hak kemanusian bukan mencari hakmu saja, tidak
hanya mencari akhirat sendiri yang lainnya ditinggal,tidak hanya perutmu saja
yang kau penuhi, tapi ya jangan
dilupakan lambungnya orang lain, maka dari spectrum diatas perlu sekali
adanya sikap keintelektualan seorang mahasiswa yang dibarengi dengan jiwa sosial
yang tinggi, serta santri yang tidak hanya ribut dengan fiqih, dan apalagi ikut
rebut masalah furuiyah yang banyak melanda kaum muslimin sekarang.