- Pengantar
- Etika Tidur dan Bangun
- Etika (Adab) Buang Hajat
- Etika Berpakaian dan Berhias
- Etika di Jalanan, Bepergian dan dipasar
- Etika Memberi Salam dan Meminta Izin
- Etika di Majlis dan di Masjid
- Etika Berbicara dan Etika Berbeda Pendapat
- Etika Bercanda dan Etika Bergaul Dengan Orang Lain
- Etika Membaca Al-Qur'an dan Etika Berdo`a
- Etika Makan & Minum dan Etika Bertamu
- Etika Menjenguk Orang Sakit
- Etika Janazah dan Ta'ziah
- Etika Pengantin dan Pergaulan Suami-Istri
- Etika Berkomunikasi Lewat Telepon dan Etika Bertetangga
ETIKA BERKOMUNIKASI
LEWAT TELEPON
Ceklah dengan baik
nomor telepon yang akan anda hubungi sebelum anda menelpon agar anda tidak
mengganggu orang yang sedang tidur atau mengganggu orang yang sedang sakit atau
merisaukan orang lain.
Pilihlah waktu yang
tepat untuk berhubungan via telepon, karena manusia mempunyai kesibukan dan
keperluan, dan mereka juga mempunyai waktu tidur dan istirahat, waktu makan dan
bekerja.
Jangan memperpanjang
pembicaraan tanpa alasan, karena khawatir orang yang sedang dihubungi itu sedang
mempunyai pekerjaan penting atau mempunyai janji dengan orang lain.
hendaknya wanita
tidak memperindah suara di saat ber-bicara (via telpon) dan tidak berbicara
melantur dengan laki-laki. Allah berfirman yang artinya: “Maka janganlah kamu
tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab: 32).
Maka hendaknya wanita
berhati-hati, jangan berbicara diluar kebiasaan dan tidak melantur berbicara
dengan lawan jenisnya via telepon, apa lagi memperpanjang pembicaraan,
memperindah suara, memperlembut dan lain sebagainya.
Hendaknya penelpon
memulai pembicaraannya dengan ucapan Assalamu`alaikum, karena dia adalah orang
yang datang, maka dari itu ia harus memulai pembicaraannya dengan salam dan juga
menutupnya dengan salam.
Tidak memakai telpon
orang lain kecuali seizin pemilik-nya, dan itupun bila terpaksa.
Tidak merekam
pembicaraan lawan bicara kecuali seizin darinya, apapun bentuk pembicaraannya.
Karena hal tersebut merupakan tindakan pengkhianatan dan mengungkap rahasia
orang lain, dan inilah tipu muslihat. Dan apabila rekaman itu kamu sebarluaskan
maka itu berarti lebih fatal lagi dan merupakan penodaan terhadap amanah. Dan
termasuk di dalam hal ini juga adalah merekam pembicaraan orang lain dan apa
yang terjadi di antara mereka. Maka, ini haram hukumnya, tidak boleh
dikerjakan!
Tidak menggunakan
telepon untuk keperluan yang negatif, karena telepon pada hakikatnya adalah
nikmat dari Allah yang Dia berikan kepada kita untuk kita gunakan demi memenuhi
keperluan kita. Maka tidak selayaknya jika kita menjadikannya sebagai bencana,
menggunakannya untuk mencari-cari kejelekan dan kesalahan orang lain dan
mencemari kehormatan mereka, dan menyeret kaum wanita ke jurang kenistaan. Ini
haram hukumnya, dan pelakunya layak dihukum.
ETIKA
BERTETANGGA
Menghormati tetangga
dan berprilaku baik terhadap mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah Radhiallaahu anhu :
“....Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia
memu-liakan tetangganya”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan: “hendaklah ia
berprilaku baik terhadap tetangganya”. (Muttafaq’alaih).
Bangunan yang kita
bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari sinar
mata hari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah merusak
atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya.
Hendaknya Kita
memelihara hak-haknya di saat mereka tidak di rumah. Kita jaga harta dan
kehormatan mereka dari tangan-tangan orang jahil; dan hendaknya kita ulurkan
tangan bantuan dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, serta memalingkan
mata kita dari wanita mereka dan merahasiakan aib mereka.
Tidak melakukan suatu
kegaduhan yang mengganggu mereka, seperti suara radio atau TV, atau mengganggu
mereka dengan melempari halaman mereka dengan kotoran, atau menutup jalan bagi
mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Demi Allah,
tidak beriman; demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman! Nabi
ditanya: Siapa, wahai Rasulullah? Nabi menjawab: “Adalah orang yang tetangganya
tidak merasa tentram karena perbuatan-nya”. (Muttafaq’alaih).
Jangan kikir untuk
memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita ajak mereka
berbuat yang ma`ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana (hikmah) dan
nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan mereka.
Hendaknya kita selalu
memberikan makanan kepada tetangga kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda kepada Abu Dzarr: “Wahai Abu Dzarr, apabila kamu memasak sayur
(daging kuah), maka perbanyaklah airnya dan berilah tetanggamu”. (HR.
Muslim).
Hendaknya kita turut
bersuka cita di dalam kebahagiaan mereka dan berduka cita di dalam duka mereka;
kita jenguk bila ia sakit, kita tanyakan apabila ia tidak ada, bersikap baik
bila menjumpainya; dan hendaknya kita undang untuk datang ke rumah. Hal-hal
seperti itu mudah membuat hati mereka jinak dan sayang kepada kita.
Hendaknya kita tidak
mencari-cari kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia bila mereka
keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan
mereka.
Hendaknya kita sabar
atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah.... –Disebutkan
di antaranya- :Seseorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu)
oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah
oleh kematian atau keberangkatannya”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh
Al-Albani).
Merayu istri dan
bercanda dengannya di saat santai berduaan. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya.
Meletakkan tangan di
kepala istri dan mendo`akannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda: “Apabila salah seorang kamu menikahi seorang wanita, maka hendaklah ia
memegang ubun-ubunnya, dan bacalah bimillah lalu mohon berkahlah kepada Allah,
dan hendaknya ia membaca:
“(a Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan sifat yang ada
padanya; dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukanya dan keburukan sifat yang
ada padanya)” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani).
Disunnahkan bagi
kedua mempelai melakukan shalat dua raka`at bersama, karena hal tersebut dinukil
dari kaum salaf.
Membaca basmalah
sebelum melakukan jima`. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalau sekiranya seorang di antara kamu hendak bersenggama dengan istrinya
membaca :
“(Dengan menyebut
nama Alllah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkan syetan dari apa
yang Engkau rizkikan kepada kami), maka sesungguhnya jika keduanya dikaruniai
anak dari persenggamaannya itu, niscaya ia tidak akan dibahayakan oleh setan
selama-lamanya” (Muttafaq alaih).
Jika sang suami ingin
bersenggama lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu telah
bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka hendaklah ia
berwudhu”. (HR. Muslim).
Disunatkan bagi kedua
suami istri berwudhu sebelum tidur sesudah melakukan jima`, karena hadits Aisyah
menuturkan :”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila beliau
hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” (Muttafaq’alaih).
Haram bagi suami
menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi duburnya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang melakukan
persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya, atau datang kepada
dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya
ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR. Al-Arba`ah
dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).
Haram bagi
suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang paling buruk
kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang berhubungan
dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya”. (HR.
Muslim).
Hendaknya
masing-masing saling bergaul dengan baik, dan melaksanakan kewajiban
masing-masing terhadap yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
yang ma`ruf”. (Al-Baqarah: 228).
Hendaknya suami
berlaku lembut dan bersikap baik terhadap istrinya dan mengajarkan sesuatu yang
dipan-dang perlu tentang masalah agamanya, serta menekankan apa-apa yang diwajib
Allah terhadapnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Ingatlah, berpesan baiklah selalu kepada istri, karena sesungguhnya mereka
adalah tawanan disisi kalian....” (HR. Turmudzi dan dishahihkan oleh
Al-Albani).
Hendaknya istri
selalu ta`at kepada suaminya sesuai kemampuannya asal bukan dalam hal
kemaksiatan, dan hendaknya tidak mematuhi siapapun dari keluarganya bila tidak
disukai oleh suami dan bertentangan dengan kehendaknya, dan hendaknya istri
tidak menolak ajakan suami bila mengajaknya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidutrnya lalu ia
tidak memenuhi ajakannya, lalu sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya,
maka malaikat melaknat wanita tersebut hingga pagi”. (Muttafaq
alaih).
Hendaknya suami
berlaku adil terhadap istri-istrinya di dalam masalah-masalah yang harus
bertindak adil. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satunya, niscaya ia
datang di hari Kiamat kelak dalam keadaan sebelah badannya miring”. (HR. Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Unknown
Segera merawat
janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa
belas kasih terhadap mereka. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya
menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika amal-amalnya shalih, maka
kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika sebaliknya, maka keburukan-lah
yang kamu lepaskan dari pundak kamu”. (Muttafaq alaih).
Tidak menangis dengan
suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Bukan golongan kami orang yang
memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan kepada seruan
jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).
Disunatkan mengantar
janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersada:
“Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka baginya
(pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan
maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua qirath itu?”. Nabi
menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”. (Muttafaq’alaih).
Memuji si mayit
(janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan-kebaikannya dan tidak mencoba
untuk menjelek-jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam
bersabda:”Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah mati, karena mereka
telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al-Bukhari).
Memohonkan ampun
untuk janazah setelah dikuburkan. Ibnu Umar Radhiallaahu anhu pernah berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila selesai mengubur
janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk saudaramu
ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia sekarang
akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).
Disunatkan menghibur
keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga
Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR.
Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Disunnatkan
berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia ambil
dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya sudah
ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala dari-Nya”.
(Muttafaq’alaih).
Unknown
Untuk orang yang
berkunjung (menjenguk):
Hendaknya tidak lama
di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung, dan
hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan
membahagiakannya.
Hendaknya mendekat
kepada si sakit dan menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakannya, seperti
mengata-kan: “Bagaimana kamu rasakan keadaanmu?”. Sebagai-mana pernah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Mendo`akan semoga
cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan. Ibnu Abbas
Radhiallaahu anhu telah meriwayat-kan bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam apabila beliau menjenguk orang sakit, ia mengucapkan: “Tidak apa-apa.
Sehat (bersih) insya Allah”. (HR. Al-Bukhari). Dan berdo`a tiga kali
sebagai-mana dilakukan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Mengusap si sakit
dengan tangan kanannya, dan berdo`a:
“Hilangkanlah
kesengsaraan (penyakitnya) wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha
Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit”. (Muttafaq’alaih).
Mengingatkan si sakit
untuk bersabar atas taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jangan mengatakan
“tidak akan cepat sembuh”, dan hendaknya tidak mengharapkan kematiannya
sekalipun penyakitnya sudah kronis.
Hendaknya
mentalkinkan kalimat Syahadat bila ajalnya akan tiba, memejamkan kedua matanya
dan mendo`akan-nya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Talkinlah orang yang akan meninggal di antara kamu “La ilaha illallah”. (HR.
Muslim).
Untuk orang yang
sakit:
Hendaknya segera
bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.
Berbaik sangka kepada
Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk yang lemah di
antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak mem-butuhkan
ketaatannya
Hendaknya cepat
meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan segera
mem-bayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemi-liknya, dan menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya.
Memperbanyak zikir
kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan beristighfar (minta ampun).
Mengharap pahala dari
Allah dari musibah (penyakit) yang dideritanya, karena dengan demikian ia pasti
diberi pahala. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apa saja yang
menimpa seorang mu’min baik berupa kesedihan, kesusahan, keletihan dan penyakit,
hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah meninggikan karenanya satu derajat
baginya dan mengampuni kesalahannya karenanya”. (Muttafaq’alaih).
Berserah
diri dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkeyakinan bahwa
kesembuhan itu dari Allah, dengan tidak melupakan usaha-usaha syar`i untuk
kesembuhan-nya, seperti berobat dari penyakitnya.
ETIKA MAKAN DAN
MINUM
Berupaya untuk
mencari makanan yang halal. Allah Shallallaahu alaihi wa Sallam berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu”. (Al-Baqarah: 172). Yang baik disini artinya adalah yang
halal.
Hendaklah makan dan
minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar
kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu.
Hendaknya mencuci
tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan untuk
menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu.
Hendaklah kamu puas
dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya.
Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menuturkan: “Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila
suka sesuatu ia makan dan jika tidak, maka ia tinggalkan”.
(Muttafaq’alaih).
Hendaknya jangan
makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda; “Aku tidak makan sedangkan aku menyandar”. (HR.
al-Bukhari). Dan di dalam haditsnya, Ibnu Umar Radhiallaahu anhu menuturkan:
“Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melarang dua tempat makan, yaitu
duduk di meja tempat minum khamar dan makan sambil menyungkur”. (HR. Abu Daud,
dishahihkan oleh Al-Albani).
Tidak makan dan minum
dengan menggunakan bejana terbuat dari emas dan perak. Di dalam hadits
Hudzaifah dinyatakan di antaranya bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam
telah bersabda: “... dan janganlah kamu minum dengan menggunakan bejana terbuat
dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang terbuat
darinya, karena keduanya untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kita di
akhirat kelak”. (Muttafaq’alaih).
Hendaknya memulai
makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang diantara
kamu makan, hendaklah menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jika lupa
menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada awalnya maka hendaknya mengatakan :
Bismillahi awwalihi wa akhirihi”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Adapun meng-akhirinya dengan Hamdalah, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat meridhai seorang hamba yang apabila
telah makan suatu makanan ia memuji-Nya dan apabila minum minuman ia pun
memuji-Nya”. (HR. Muslim).
Hendaknya makan
dengan tangan kanan dan dimulai dari yang ada di depanmu. Rasulllah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda Kepada Umar bin Salamah: “Wahai anak, sebutlah nama
Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang di depanmu.
(Muttafaq’alaih).
Disunnatkan makan
dengan tiga jari dan menjilati jari-jari itu sesudahnya. Diriwayatkan dari
Ka`ab bin Malik dari ayahnya, ia menuturkan: “Adalah Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam makan dengan tiga jari dan ia menjilatinya sebelum
mengelapnya”. (HR. Muslim).
Disunnatkan mengambil
makanan yang terjatuh dan membuang bagian yang kotor darinya lalu memakannya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila suapan makan seorang
kamu jatuh hendaklah ia mengambilnya dan membuang bagian yang kotor, lalu
makanlah ia dan jangan membiarkannya untuk syetan”. (HR. Muslim).
Tidak meniup makan
yang masih panas atau bernafas di saat minum. Hadits Ibnu Abbas menuturkan
“Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang bernafas pada bejana
minuman atau meniupnya”. (HR. At-Turmudzi dan dishahihkan oleh
Al-Albani).
Tidak
berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Sallam bersabda: “Tiada tempat yang yang lebih buruk yang dipenuhi oleh
seseorang daripada perutnya, cukuplah bagi seseorang beberapa suap saja untuk
menegakkan tulang punggungnya; jikapun terpaksa, maka sepertiga untuk
makanannya, sepertiga untuk minu-mannya dan sepertiga lagi untuk bernafas”. (HR.
Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hendaknya pemilik
makanan (tuan rumah) tidak melihat ke muka orang-orang yang sedang makan, namun
seharusnya ia menundukkan pandangan matanya, karena hal tersebut dapat menyakiti
perasaan mereka dan membuat mereka menjadi malu.
Hendaknya kamu tidak
memulai makan atau minum sedangkan di dalam majlis ada orang yang lebih berhak
memulai, baik kerena ia lebih tua atau mempunyai kedudukan, karena hal tersebut
bertentangan dengan etika.
Jangan sekali-kali
kamu melakukan perbuatan yang orang lain bisa merasa jijik, seperti mengirapkan
tangan di bejana, atau kamu mendekatkan kepalamu kepada tempat makanan di saat
makan, atau berbicara dengan nada-nada yang mengandung makna kotor dan
menjijik-kan.
Jangan minum langsung
dari bibir bejana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau berkata, “Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum dari bibir bejana wadah air.” (HR.
Al Bukhari)
Disunnatkan
minum sambil duduk, kecuali jika udzur, karena di dalam hadits Anas disebutkan
“Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang minum sambil
berdiri”. (HR. Muslim).
ETIKA
BERTAMU
Untuk orang yang
mengundang:
Hendaknya mengundang
orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali dengan seorang
mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. (HR. Ahmad
dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Jangan hanya
mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang fakir.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk makanan adalah
makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang-orang kaya tanpa
orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).
Undangan jamuan
hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat
untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan
membahagiakan teman-teman sahabat.
Tidak
memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu
anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata:
“Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR.
Al-Bukhari)
Jangan anda membebani
tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
Jangan kamu
menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan dengan
kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
Hendaklah segera
menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti
menghormatinya.
Jangan tergesa-gesa
untuk mengangkat makanan (hida-ngan) sebelum tamu selesai menikmati
jamuan.
Disunnatkan mengantar
tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan
penuh perhatian.
Bagi tamu :
Hendaknya memenuhi
undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur, karena hadits Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam mengatakan: “Barangsiapa yang diundang kepada
walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR. Muslim).
Hendaknya tidak
membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena
tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap
perasaannya.
Jangan tidak hadir
sekalipun karena sedang berpuasa, tetapi hadirlah pada waktunya, karena hadits
yang bersumber dari Jabir Shallallaahu alaihi wa Sallam menyebutkan bahwasanya
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda:”Barangsiapa yang
diundang untuk jamuan sedangkan ia berpuasa, maka hendaklah ia menghadirinya.
Jika ia suka makanlah dan jika tidak, tidaklah mengapa. (HR. Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Jangan terlalu lama
menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan
tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap.
Bertamu tidak boleh
lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari
itu.
Hendaknya pulang
dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada tuan rumah.
Hendaknya mendo`akan
untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya. Dan di antara do`a
yang ma’tsur adalah :
“Orang yang berpuasa
telah berbuka puasa padamu. dan orang-orang yang baik telah memakan makananmu
dan para malaikan telah bershalawat untukmu”. (HR. Abu Daud, dishahihkan
Al-Albani).
“Ya Allah, ampunilah
mereka, belas kasihilah mereka, berkahilah bagi mereka apa yang telah Engkau
karunia-kan kepada mereka. Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi kami
makan, dan berilah minum orang yang memberi kami minum”.
ETIKA MEMBACA
AL-QUR'AN
Sebaiknya orang yang
membaca Al-Qur'an dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaiannya, badannya dan
tempatnya serta telah bergosok gigi.
Hendaknya memilih
tempat yang tenang dan waktunya pun pas, karena hal tersebut lebih dapat
konsentrasi dan jiwa lebih tenang.
Hendaknya memulai
tilawah dengan ta`awwudz, kemu-dian basmalah pada setiap awal surah selain
selain surah At-Taubah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Apabila kamu akan mem-baca al-Qur'an, maka memohon perlindungan-lah kamu kepada
Allah dari godaan syetan yang terkutuk". (An-Nahl: 98).
Hendaknya selalu
memperhatikan hukum-hukum tajwid dan membunyikan huruf sesuai dengan makhrajnya
serta membacanya dengan tartil (perlahan-lahan). Allah berfirman yang Subhanahu
wa Ta'ala artinya: "Dan Bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan".
(Al-Muzzammil: 4).
Disunnatkan
memanjangkan bacaan dan memperindah suara di saat membacanya. Anas bin Malik
Radhiallaahu anhu pernah ditanya: Bagaimana bacaan Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam (terhadap Al-Qur'an? Anas menjawab: "Bacaannya panjang (mad), kemudian
Nabi membaca "Bismillahirrahmanirrahim" sambil memanjangkan Bismillahi, dan
memanjangkan bacaan ar-rahmani dan memanjangkan bacaan ar-rahim". (HR.
Al-Bukhari). Dan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam juga bersabda: "Hiasilah
suara kalian dengan Al-Qur'an". (HR. Abu Daud, dan dishahih-kan oleh
Al-Albani).
Hendaknya membaca
sambil merenungkan dan menghayati makna yang terkandung pada ayat-ayat yang
dibaca, berinteraksi dengannya, sambil memohon surga kepada Allah bila terbaca
ayat-ayat surga, dan berlindung kepada Allah dari neraka bila terbaca ayat-ayat
neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran." (Shad: 29). Dan di dalam hadits Hudzaifah ia menuturkan:
"......Apabila Nabi terbaca ayat yang mengandung makna bertasbih (kepada Allah)
beliau bertasbih, dan apabila terbaca ayat yang mengandung do`a, maka beliau
berdo`a, dan apabila terbaca ayat yang bermakna meminta perlindungan (kepada
Allah) beliau memohon perlindungan". (HR. Muslim). Allah berfirman yang
artinya:
Hendaknya
mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan baik dan diam, tidak berbicara. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan apabila Al-Qur'an dibacakan,
maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu men-dapat
rahmat". (Al-A`raf: 204).
Hendaklah selalu
menjaga al-Qur'an dan tekun membacanya dan mempelajarinya (bertadarus) hingga
tidak lupa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Peliharalah
Al-Qur'an baik-baik, karena demi Tuhan yang diriku berada di tangan-Nya, ia
benar-benar lebih liar (mudah lepas) dari pada unta yang terikat di tali
kendalinya". (HR. Al-Bukhari).
Hendaknya tidak
menyentuh Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman yang artinya: "Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan". (Al-Waqi`ah: 79).
Boleh bagi wanita
haid dan nifas membaca al-Qur'an dengan tidak menyentuh mushafnya menurut salah
satu pendapat ulama yang lebih kuat, karena tidak ada hadits shahih dari
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang hal tersebut.
Disunnatkan
menyaringkan bacaan Al-Qur'an selagi tidak ada unsur yang negatif, seperti riya
atau yang serupa dengannya, atau dapat mengganggu orang yang sedang shalat, atau
orang lain yang juga membaca Al-Qur'an.
Termasuk
sunnah adalah berhenti membaca bila sudah ngantuk, karena Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "?pabila salah seorang kamu bangun di
malam hari, lalu lisannya merasa sulit untuk membaca Al-Qur'an hingga tidak
menyadari apa yang ia baca, maka hendaknya ia berbaring (tidur)". (HR. Muslim).
ETIKA BERDO`A
Terlebih dahulu
sebelum berdo`a hendaknya memuji kepada Allah kemudian bershalawat kepada Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah
mendengar seorang lelaki sedang berdo`a di dalam shalatnya, namun ia tidak
memuji kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam maka Nabi bersabda kepadanya: "Kamu telah tergesa-gesa wahai orang yang
sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk, maka memujilah
kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, dan bershalawatlah kepadaku,
kemudian berdo`alah". (HR. At-Turmudzi, dan dishahihkan oleh
Al-Albani).
Mengakui dosa-dosa,
mengakui kekurangan (keteledoran diri) dan merendahkan diri, khusyu', penuh
harapan dan rasa takut kepada Allah di saat anda berdo`a. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman yang artinya:
"Sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang selalu bersegera di dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu` kepada Kami". (Al-Anbiya':
90).
Berwudhu' sebelum
berdo`a, menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangan di saat berdo`a. Di dalam
hadits Abu Musa Al-Asy`ari Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa setelah Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam selesai melakukan perang Hunain :" Beliau minta
air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tangannya; dan aku melihat putih
kulit ketiak beliau". (Muttafaq'alaih).
Benar-benar (meminta
sangat) di dalam berdo`a dan berbulat tekad di dalam memohon. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kamu berdo`a kepada Allah, maka
bersungguh-sungguhlah di dalam berdo`a, dan jangan ada seorang kamu yang
mengatakan :Jika Engkau menghendaki, maka berilah aku", karena sesungguhnya
Allah itu tidak ada yang dapat memaksanya". Dan di dalam satu riwayat
disebutkan: "Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam memohon dan
membesarkan harapan, karena sesungguhnya Allah tidak merasa berat karena sesuatu
yang Dia berikan". (Muttafaq'alaih).
Menghindari do`a
buruk terhadap diri sendiri, anak dan harta. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali kamu mendo`akan buruk terhadap diri kamu
dan juga terhadap anak-anak kamu dan pula terhadap harta kamu, karena khawatir
do`a kamu bertepatan dengan waktu dimana Allah mengabulkan do`amu". (HR.
Muslim).
Merendahkan suara di
saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai sekalian
manusia, kasihanilah diri kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berdo`a kepada
yang tuli dan tidak pula ghaib, sesungguhnya kamu berdo`a (memohon) kepada Yang
Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia selalu menyertai kamu". (HR.
Al-Bukhari).
Berkonsentrasi di
saat berdo`a. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: "Berdo`alah
kamu kepada Allah sedangkan kamu dalam keadaan yakin dikabulkan, dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do`a dari hati yang lalai". (HR.
At-Turmudzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Tidak memaksa
bersajak di dalam berdo`a. Ibnu Abbas pernah berkata kepada `Ikrimah: "Lihatlah
sajak dari do`amu, lalu hindarilah ia, karena sesungguhnya aku memperhatikan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan para shahabatnya tidak melakukan
hal tersebut".(HR. Al-Bukhari)..
ETIKA BERCANDA
Hendaknya percandaan
tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya atau syi`ar-syi`ar
Islam. Karena Allah telah berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olokan
shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , yang ahli baca al-Qur`an yang
artimya:
"Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka
menjawab: "Sesungguh-nya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja".
Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?". Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman".
(At-Taubah: 65-66).
Hendaknya percandaan
itu adalah benar tidak mengandung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak mengada-ada
cerita-cerita khayalan supaya orang lain tertawa. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta
supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah".
(HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Hendaknya percandaan
tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah seorang di antara
kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau sungguh-sungguh; dan
jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus mengembalikannya
kepadanya". (HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani).
Bercanda tidak boleh
dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak
bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang bukan
mahrammu.
Hendaknya
anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan
akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain.
ETIKA BERGAUL DENGAN
ORANG LAIN
Hormati perasaan
orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat.
Jaga dan
perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu
pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya.
Mendudukkan orang
lain pada kedudukannya dan masing-masing dari mereka diberi hak dan
dihargai.
Perhatikanlah mereka,
kenalilah keadaan dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka.
Bersikap tawadhu'lah
kepada orang lain dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan bersikap
angkuh terhadap mereka.
Bermuka manis dan
senyumlah bila anda bertemu orang lain.
Berbicaralah kepada
mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka.
Berbaik sangkalah
kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka.
Mema`afkan kekeliruan
mereka dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tahanlah rasa benci
terhadap mereka.
Dengarkanlah
pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka.
ETIKA BERBICARA
Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan
perdamaian diantara manusia". (An-Nisa: 114).
hendaknya pembicaran
dengan suara yang dapat dide-ngar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu
rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat
atau dipaksa-paksakan.
Jangan membicarakan
sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam menyatakan: "Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan
sesuatu yang tidak berguna". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Janganlah kamu
membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu di
dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda: "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia
membicarakan semua apa yang telah ia dengar".(HR. Muslim)
Menghindari
perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan
menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa
saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin)
istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Tenang dalam
berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Radhiallaahu 'anha. telah menuturkan:
"Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu
pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat
menghitungnya". (Mutta-faq'alaih).
Menghindari perkataan
jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang
mu'min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya". (HR. Al-Bukhari di
dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Menghindari sikap
memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir
Radhiallaahu 'anhu disebutkan: "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci
dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak
bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun". Para
shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab:
"Orang-orang yang sombong". (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh
Al-Albani).
Menghindari perbuatan
menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman
yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain".(Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan
bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah
pendapatnya atau mendustakannya.
Jangan memonopoli
dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk
berbicara.
Menghindari perkataan
kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari
kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat
mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
Menghindari sikap
mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah
Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olokan). (Al-Hujurat: 11).
ETIKA BERBEDA PENDAPAT
Ikhlas dan mencari
yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat. Juga
menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
Mengembalikan perkara
yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu
wa Ta'ala telah berfirman yang artinya:
"Dan jika kamu
berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab)
dan Rasul". (An-Nisa: 59).
Berbaik sangka kepada
orang yang berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela
dan menganggapnya cacat.
Sebisa mungkin
berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan
pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran
yang baik.
Berusaha sebisa
mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian
yang dalam dan difikirkan secara matang.
Berlapang dada di
dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang
dialamatkan kepada anda.
Sedapat mungkin
menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
Berpegang teguh
dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar
menghadapi lawan.