1. Asal - Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman haji
yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak
Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam Babad Tanah Jawa,
disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang
berperang melawan pasukan Majapahit.
Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden
Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan
saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan
sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus
yaitu putranya sendiri bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat
siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang dibawa dari
Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi Patih Wanasalam dan Sunan
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar
Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah
kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya
bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belah
timur.
Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
2. Kebijakan Sunan Kudus Dalam Menyebarkan Agama Islam
Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar
Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai
Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah
seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana
Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo
yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa mengadakan tali persahabatan dan
menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan
Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai
Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya
mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni
ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing,
termasuk Raden Jakfar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang
berasal dari Cina itu, Jakfar Sodio mewarisi bagian dari sifat positif
masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai
cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq
di masa yang akan datang yaitu takkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan
masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel
di Surabaya selama beberapa tahun. Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden
Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci
Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan
di sana ada wabah penyakit yang sukar di atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi
hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil. Pada suatu
hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi
kedatangannya disambut dengan sinis.
“Dengan apa Tuan akan
melenyapkan wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.
“Dengan do’a,” jawab
Jakfar Sodiq singkat.
“Kalau hanya do’a kami
sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan
Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit
ini.”
“Saya mengerti, memang
Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya
sehingga do’a mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani
Tuan berkata demilian,” kata Amir itu dengan nada berang.
“Apa kekurangan mereka
?”
“Anda sendiri yang
menyebabkannya,” kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan
hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas.
Mereka berdo’a hanya karena mengharap hadiah.”
Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya.
Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara khusu Jakfar Sodiq berdo’a dan membaca
beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab
telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras mendadak
saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya
bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia
hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itupun dibawa ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman
masjid yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Jakfar Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam
berdakwah menggunakan cara halus atau Tutwuri Handayani. Adat istiadat rakyat
tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit menuju
ajaran Islami.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama
Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang
pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di
daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar
Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
3. Cara Berdakwah Yang Luwes
Di Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama
Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan
mudah. Juga mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh
adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah
Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor
sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari
Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus
yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan
dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu
adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah
perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus
?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat
yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti
Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman
rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan
Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar
dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang
saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka
suara. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab
di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui
saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu
terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu adalah titisan Dewa
Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya.
“Salah satu diantara
surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau
dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik.
Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk
itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan
lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan
candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang
hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Sesudah
berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap
toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan
ummat Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring ummat Budha.
Caranya? memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat
memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat
berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi
arca diatasnya.
Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat
delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2.
Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4.
Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6.
Beribadah dengan benar.
7. Dan Menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang
penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan
atau tempat berwudhu. Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu
pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada
adat istiadat lama.
Seperti diketahui bersama Rakyat Jawabanyak yang melakukan
adat-adat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya
berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni, neloni dan lain-lain. Sunan Kudus
sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya
untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga
oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka
akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut yang mitoni sembari minta kepada
Dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya
perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus.
Melainkan di arahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para Dewa, melainkan bersedekah
kepada penduduk setempat dan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya
langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah
tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi
Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan
Surat Mariam dalam Al-Qur’an.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari
berbagai jenis makanan, kemudian di ikrar hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun
atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau ditempat-tempat
sunyi di lingkungan rumah tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah
gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang
Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus
yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Setelah masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan
tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan
kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan
Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau hanya bermaksud mengenalnya syariat
berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa
sebabnya ? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat
lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk
masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi
undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama
Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup
cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan
Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka
Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi
positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan
lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena
rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang
diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya
lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat
tetap menaruh simpati dan menghormatinya.
Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan
melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran
agama Islam.
4. Tantangan Ki Ageng Kedu
Bahwa Sunan Kudus itu seorang Wali berilmu tinggi dan sakti
sudah dimaklumi masyarakat, tapi ada seorang yang merasa lebih sakti daripada
Sunan Kudus. Orang itu bernama Ki Ageng Kedu. Seorang sakti hanya memiliki ilmu
peringan tubuh sedemikian rupa sehingga hanya dengan melemparkan tampah ke
udara kemudian dia meloncat hinggap di atas tampah itu diapun dapat terbang
menurut keinginannya.
Pada suatu hari Ki Ageng Kedu yang penasaran atas kesaktian
Sunan Kudus ingin mencoba adu kesaktian. Seperti biasa, dia mengambil tampah
kemudian terbang ke daerah Kudus. Orang-orang yang melihatnya merasa kagum dan
heran, Ki Ageng Kedu lewat begitu saja dengan cepatnya di atas rumah-rumah
penduduk. Sewaktu berada di daerah Kudus ia tidak langsung turun dari
tampahnya, mala tertawa ngakak berkeliling kota Kudus. Muridmurid Sunan Kudus
sudah penasaran melihat kepongahannya, tapi saat itu Sunan Kudus belum keluar
dari Masjid, beliau masih membaca dzikir seusai shalat. Dia juga tak merasa
heran saat keluar dari masjid melihat Ki Ageng Kedu berteriak-teriak memanggil
namanya.
“Hai Sunan Kudus ayo
keluarlah! Hadapilah aku Ki Ageng Kedu yang hendak menantangmu adu kesaktian !”
Tiba-tiba Sunan Kudus menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng
Kedu sembari berkata, “Aku di sini Ki Ageng Kedu !”
Seketika tersirap darah Ki Ageng Kedu. Tampah yang
dikendarainya mendadak oleng kesana-kemari. Tak terkendalikan lagi, tubuhnya
yang ringan mendadak berubah menjadi berat dan segera tersedot oleh gaya tarik
bumi, bahkan seperti dihempaskan oleh tenaga gaib yang tak tampak oleh mata.
Tubuh Ki Ageng Kedu terlempar ke tanah yang becek, yang
dalam bahasa Jawanya disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki
Ageng Kedu itu jatuh disebut Jember.
Setelah roboh ke tanah yang becek dan kotor, segala kesaktian
Ki Ageng Kedu lenyap seketika. Dia telah berubah menjadi manusia biasa, tak
bisa terbang lagi seperti dulu.
5. Sunan Kudus Sebagai Seorang Senopati
Sunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati
atau Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro. Juga Senopati Waliullah artinya
beliau itu menjadi Senopatinya para
Wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak beliau pernah memimpin
peperangan melawan Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung.
Sedangkan sebagai Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan
untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang meremehkan syariat
sehingga dianggap sesat. Pada bagian ini akan diceritakan secara singkat tugas
Sunan Kudus di saat haus berhadapan dengan seorang murid Syekh Siti Jenar yang
masih punya darah keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk desa Pengging yang
terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebabnya malam itu terdengar
auman harimau secara terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam
itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung.
Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk
memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan
tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa.
Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demakyang menyamar
sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat
harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan
Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.”
“Aneh, semalam kami tak
dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua desa.
“Kalau begitu namakanlah
tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada
Sima.” Kata Sunan Kudus.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus
bermalam itu dinamakan desa Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya
ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki
Ageng Pengging.
Tiga tahun yang lalu, diawal tampak pemerintahan Raden Patah.
Patih Wanasalam telah diutus untuk menemui Ki Ageng Pengging. Tujuannya adalah
untuk meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah Ki Ageng Pengging bersedia
mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit
atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak ?
Pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas oleh Ki Ageng
Pengging. Patih Wanasalam orang kepercayaan Raden Patah, memberi batas waktu
tiga tahun untuk berfikir dan menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah
menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami
kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo
Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang
diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging
itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih
setia kepadanya, mereka menyembunyikan di balik baju petani. Tapi sewaktu-waktu
mereka bisa di gerakkan di saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini di sadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Raden
Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng
Pengging ini. Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang. Pagi itu
penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau
istana Kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati
Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar,
bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di
ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya
mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah
dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang
disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul
bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan
auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng
Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam
kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah
beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa
menemui tamu.” Kata pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,”
Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus.
Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus
yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus
dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan
minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng
Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya
diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau
di dalam? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga
diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam. Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama
dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging.
“Atas-bawah, luar-dalam
adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki
Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak
Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau
mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya
memberontak !
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu
sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki
Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah
meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar
bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” Kata Sunan
Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu !” Jawab
Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang
kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja,
memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau
anggap aku ini Allah aku memang Allah !”
Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar
yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah
bertentangan dengan Islam yang disiarkan para
Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga
cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang
aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus
bermaksud menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam
hidup. Saya ingin melihat buktinya ?”
“Jadi itukah yang
dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau
harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku
saja yang mati.” Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng.
“Tusuklah siku lenganku
ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan
Kuduspun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika
matilah Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging
dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka
berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang
hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati
di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu
pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar
Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati
Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-berteriak memanggil Sunan
Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba
muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging
mengejar kearah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah
utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging
kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan
Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur
urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi
dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak
memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini.
Pulanglah !” Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung
perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang
mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai
seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih
penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus.
“Segeralah kalian urus
jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin
kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka
kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan
Kudus sangat dihormat para penguasa pada jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu
Sultan Handiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus.
Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik
tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
*****
Post a Comment