Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara.
Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara.
Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal
sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist
terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai perawi hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh
jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau
mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka
Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar
mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim
Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu
Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah
ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa,
dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa
ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya
dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu
Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau Sayyid Alim
Murtolo.
Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri
oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan Ratu
Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Raja Majapahit
sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah
menarik dengan Dewi Sari.
Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan
kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara.
Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang
putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar
saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli
putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia.
Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden
Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan
Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan
Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena
terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada
Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan
tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini
membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan
buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi
serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu
diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan
betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui
kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada
suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya
para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang
Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak
terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka
bahkan para
pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh
berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang
membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda
Prabu ?”
“Aku masih bingung,”
kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik
dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula,
bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
“Saya mempunyai seorang
keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,”
kata ratu Dwarawati.
“Betulkah ?” tanya sang
Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali
Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Cempa. Bila kanda
berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali
Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan
merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali
Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke
negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa,
dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan
pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia
ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid
Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid
Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat
di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim
Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut
yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau
berda’wah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana
beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di Gresik
mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid
Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya
sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
“Nanda Rahmatullah,
bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat
Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang Prabu. Dengan
sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan
senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan
kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus !” sahut sang
Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya
di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit
agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan
Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali
Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan
salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati. Dengan demikian Sayyid
Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah
menantu raja Majapahit. Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan
berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang
disebut sebagai Ampeldenta.
Selama
dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Diantaranya
adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti
Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau
juga melakukan da’wah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti
perjalanannya ke Ampeldenta. Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu
Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau
salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama
depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan
karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka
kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat
setempat. Langkah pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah
membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke
Madinah. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra
bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru
kapada beliau.
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau
tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau
bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau main
perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat.
Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka
ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka
Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk
agama Islam ia tidak mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah
Surabaya bahkan diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh
dipaksa, Raden Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam
beragama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel
diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se
Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota
Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan
Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel sendiri.
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya
kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan
menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak
yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama masjid
Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu
Sunan Ampel.
Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat
hati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang
pernah tersebut dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak.
Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat
Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel :
“Apakah tidak
mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti
dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan
Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama
yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna
Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah
kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit,
kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun
tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di
belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut
sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada
benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini
terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama
yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong
masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan
sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid
dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam
harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran
yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat
agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng
Manila Sunan Ampel mendapat beberapa putra di antaranya :
1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3.
Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5.
Siti Alwiyah
6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.
Adapun dari
perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua
orang putri yaitu :
1.
Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan
Kalijaga.
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti
adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat
istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan
Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup
rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian. Bahkan
Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor penjaga aliran lama itu menjadi
menantu Sunan Ampel.
Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung
pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan
Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh
untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang
dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing
anggotanya.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di
sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam
beliau bahkan pada malam harinya juga.
Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad
para auliya muqorrobin
dan meridhai segala amal beliau.
*****
Post a Comment